Beranda | Artikel
Hukum Muadzin Iqamah Saat Sunnah Qabliyah
Sabtu, 9 April 2016

HUKUM MUADZIN IQAMAH SAAT SUNNAH QABLIYAH

Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya jika mu’adzin iqamat pada saat masih ada yang shalat sunnah qabliyah, namun mu’adzin beralasan, bahwa yang shalat sunnah itu datangnya terlambat, yaitu setelah yang lainnya sudah selesai shalat sunnah, dan ia ingin segera mendirikan shalat pada awal waktu? Artinya, tidak mau menunggu lama. Tolong berikan solusi dan penjelasannya. Jazakallah khairan katsira.

Jawaban.
Pertama perlu diketahui, adzan disyari’atkan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah masuk dan untuk mengundang umat Islam untuk melakukan shalat berjama’ah di masjid. Oleh karena itu, perlu diberi waktu yang cukup antara adzan dengan iqamat, agar jama’ah dapat bersiap-siap datang ke masjid. Jika tidak, maka fungsi adzan menjadi sia-sia dan hilang pula kesempatan bagi orang banyak untuk shalat berjama’ah di masjid.

Bagaimana mungkin seorang muadzin mengajak shalat berjama’ah dengan seruannya “hayya ‘alash- shalâh, lalu ia tidak bersabar menanti dan tergesa-gesa melakukan iqamat tanpa memperhatikan jama’ah yang sedang berwudhu’ atau sedang berdatangan?!

Ketika adzan dikumandangkan, tentu banyak jama’ah yang belum berwudhu’. Kemungkinan di antara jama’ah ada yang sedang bekerja, makan, minum, tidur, buang hajat, atau lainnya, sehingga perlu diberi waktu untuk bersiap-siap. Demikianlah yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau n :

اجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ نَفَسًا قَدْرَ مَا يَقْضِي الْمُعْتَصِرُ حَاجَتَهُ فِي مَهْلٍ , وَ قَدْرَ مَا يَفْرُغُ الْآكِلُ مِنْ طَعَامِهِ فِي مَهْلٍ

Jadikanlah antara adzanmu dengan iqamahmu kelonggaran seukuran mu’tashir (orang buang hajat) menyelesaikan hajatnya dengan tenang, dan seukuran orang makan selesai dari makannya dengan tenang.[1]

Kemudian praktek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa yang memerintahkan atau mengidzinkan muadzin melakukan iqamat imam, sehingga menetapkan waktu iqamat merupakan hak imam, bukan hak muadzin.

Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdullah bin Bâz rahimahullah berkata, “Tidak boleh menyegerakan iqamah hingga imam memerintahkannya. Jarak (antara adzan dan iqamat) itu sekitar seperempat jam (15 menit) atau sepertiga jam (20 menit), atau yang mendekatinya. Jika imam terlambat dalam waktu yang cukup lama, diperbolehkan yang lainnya untuk maju menjadi imam”.[2]

Selain itu hendaklah seorang muslim menyukai kebaikan pada saudaranya sebagaimana ia menyukai kebaikan itu pada dirinya sendiri, sebagaimana hadits:

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ]مِنْ الْخَيْرِ[

Dari Anas, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Seseorang di antara kalian tidak beriman sehingga ia mencintai saudaranya (kebaikan) yang ia cintai untuk dirinya”.[3]

Apakah seseorang senang, jika ketika ia sedang shalat sunah, lalu iqamat dikumandangkan? Tentu ia tidak senang. Oleh karena itu, hendaklah muadzin bersabar sebentar untuk menantinya. Namun, jika memang sudah cukup lama jarak antara adzan dan iqamat, dan imam sudah datang dan mengidzinkan iqamat, maka tidak mengapa iqamat dikumandangkan.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] HR Tirmidzi, no. 195, dan lain-lain. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 887. Lafazh hadits ini mengikuti yang tertulis dalam Silsilah ash-Shahîhah.
[2] Ensiklopedi Shalat, Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Pustaka Imam Syafi’i, 1/227.
[3] HR Bukhâri (no. 13), Muslim (no. 45). Tambahan dalam kurung riwayat an-Nasâ`i dan Ahmad.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4608-hukum-muadzin-iqamah-saat-sunnah-qabliyah.html